dari “Seniman, Makelar, dan Publik: Inovasi atau Demokratisasi?” oleh Néstor Garcia Canclini
(…)Dari Paz ke Borges: Perilaku di hadapan Televisi
Para seniman dan penulis yang paling berkontribusi bagi independensi dan profesionalisasi ranah kebudayaan menjadikan kritik terhadap negara dan pasar sebagai poros argumentasi mereka. Tapi untuk alasan yang berbeda, penolakan atas kekuasaan negara cenderung lebih keras dan konsisten ketimbang penolakan terhadap pasar.Teksnya Cabrujas, yang kami kutip di bab “Pembuka” dalam buku ini, memperparah salah satu tesis yang paling sering kita dengar: Anda tidak dapat menganalisis negara-negara Amerika Latin karena mereka tidak bisa disikapi terlalu serius; tapi para penulis naskah panggung ini, yang menghasilkan karya-karya untuk teater berbudaya dan pada saat bersamaan adalah penulis naskah opera sabun Venezuela paling sukses, tidak merumuskan suatu refleksi kritis serupa terhadap industri budaya. Penjelasan mengapa ia membuat sinetron sepanjang dua ratus jam, mengadaptasi karya dramatisnya untuk memenuhi standar produksi televisi, adalah alasan yang pramodern: ia ingin agar orang Amerika Latin “mengenal mitos besar tentang dirinya sendiri” dan “mengakuinya sebagai mitos yang indah dan luhur “(Gabaldon dan Fuentes, 8).
Kami akan berlama-lama dengan posisi Octavio Paz, yang lebih berhasil dan berpengaruh. Dimulai dengan teks-teks awalnya, di mana ia menyatakan bahwa kebebasan yang dibutuhkan seniman diperoleh dengan menjauhkan diri dari “sang pangeran” dan pasar. Namun faktanya, ia menyatakan kemarahan yang semakin besar terhadap kuasa negara dalam karyanya, sementara ia mencari kemungkinan hubungan yang produktif dengan pasar, dan dukungan dari media demi meluaskan wacananya. Penekanan Paz yang anti-negara bercampur dengan dipertahankannya suatu konsepsi yang sekaligus tradisional dan modern, ambivalen, atas otonomi ranah kesenian.
Paz adalah purwarupa penulis berbudaya; bukan hanya karena tuntutan beban eksperimentasi formalnya pada pembaca, pengetahuan implisit yang menunjukkan kepadatan puisi dan esai-esainya, dan keterlibatan orang-orang yang punya satu rujukan dengannya dalam soal karya sastra dan estetika, tetapi juga karena dalam interpretasinya atas budaya, sejarah, dan politik; ia terutama tertarik pada kaum elit dan gagasan. Sesekali dia menyebutkan gerakan sosial, perubahan teknologi, dan perubahan-perubahan material dalam kapitalisme dan sosialisme, tapi ia tidak pernah memeriksa proses-proses ini secara sistematis; referensinya ke struktur sosial ekonomi adalah gejala-gejala skenografis yang dengan cepat ia kesampingkan demi melanjutkan ke hal sebenarnya yang menjadi perhatian utamanya: gerakan kesenian dan sastra, dan khususnya pencipta individu dan reaksi mereka terhadap “ancaman” teknis dan birokrasi negara.
Ia adalah contoh luar biasa tentang bagaimana kepatuhan militan pada estetika modernisme dapat dikombinasikan dengan penolakan penuh semangat atas modernisasi sosial ekonomi. Aspek material dari modernitas, di mana negara menjadi ekspresinya yang birokratis dan menyimpang, mencekik kenyataan hidup, dan mitos serta ritual yang melestarikannya, dengan “geometri rasional.” Misi paradoksal intelektual dan seniman adalah untuk memberi terang atas nilai-nilai tradisional yang diabaikan melalui kecemerlangan inovasi estetika: di Uni Soviet, primitivisme orang Rusia; di Eropa Barat, beragam tradisi puitis yang telah hancur sejak Romantisisme, tapi Paz ingin memunculkan kembali dorongan yang menyatukan mereka dengan mengikuti penulis-penulis yang sama sekali berbeda seperti Baudelaire, Mallarme, Eliot, Pound, dan kaum surealis, dan, di Meksiko, campuran warisan budaya pra-Columbus, Spanyol kolonial baru, dan suatu Zapatisme baru yang ditafsirkan sebagai Utopia pramodern.[i]
Sejarawan Aguilar Camin mencatat inkonsistensi dari lanturan-lanturannya ini. Bagaimana mungkin para penyerang sistem kamp konsentrasi Stalinis merayakan keagungan arsitektur dan stabilitas politik abad keenam belas dan ketujuh belas di Spanyol Baru, yang dibangun dengan kekerasan pedang dan pemusnahan dari dua-pertiga dari penduduk asli? Pembenaran bahwa Zapatisme adalah inti asli dari Revolusi Meksiko -yang oleh penulis lainnya dijelaskan sebagai gerakan yang radikal dan tanpa kompromi untuk pendistribusian kembali tanah- penting bagi Paz sebagai upaya “untuk kembali ke asal, “ke” sebuah komunitas di mana hirarki bukan disusun atas dasar sosial ekonomi, melainkan dari tatanan tradisional atau spiritual”(1979, 27). Didematerialisasikan dengan cara ini Zapatisme,
berhenti menjadi perjuangan sosial untuk menjadi hati nurani sebuah sekte magis yang subordinasikan dengan mitos kembalinya zaman keemasan; perjuangannya untuk bertahan hidup adalah “wahyu” bukan perjuangan; religiusitas adalah benteng melawan birokrasi eklesiastikal, bukan ekspresi dari kekuasaan kolonial dan penetrasi birokrasi dan gereja tersebut; kurangnya persepsi dan kesadaran nasional (dari negara tetangga, Amerika Serikat) adalah sebuah nilai yang bisa ditebus di masa depan dan bukan keterbatasan utama dari gerakan ini, rahasia kekalahannya-seperti yang banyak dialami gerakan tani lainnya- ada di tangan faksi yang menganggap ” abstraksi kejam” dari Negara dan Bangsa sebagai cakrawala politik yang konkrit – dan bahwa mereka masih ada di sana –diperlukan untuk mengelola dan membangun.” (Aguilar Camin 1982,226-27)
Kami ingin memahami mengapa salah satu promotor modernitas yang paling subtil dalam sastra dan seni Amerika Latin terpesona dengan upaya kembali ke pramodern. Kami melihat gejala dalam penafsiran Utopia Zapatis sebagai jalan kembali ke “sebuah komunitas di mana hirarki bukan disusun atas kerangka sosial ekonomi, melainkan dari tatanan tradisional atau spiritual.” Siapa yang bisa mewakili hirarki spiritual tersebut di hari ini? Sudah barang tentu bukan imam lagi, mengingat bahwa sekularisasi sudah menggerogoti pengaruh mereka dan Paz sendiri membenci hirarki gerejawi seperti ia juga membenci negara. Apa yang tersisa, kemudian, adalah penulis dan seniman. Jadi peninggian simultan modernisme estetis dan pramodernitas sosial terbukti cocok: imam dunia seni modern, merasa bahwa otonomi dan kekuatan simbolik mereka rentan terhadap kemajuan kekuasaan negara, industrialisasi kreativitas, dan massifikasi khalayak, melihat alternatif dalam melindungi diri dalam suatu zaman kuno yang ideal.
Apakah mungkin dari posisi yang menolak modernisasi dan sekaligus memuliakan modernisme ini orang dapat melawan kontradiksi antara modernitas budaya dan sosial kita, sebuah reorganisasi budaya tinggi dalam masyarakat di mana bahkan suaka elit tradisional -misalnya, museum- sekalipun ditempatkan di bawah hukum industri komunikasi? Salah satu teks Paz mendramatisir kontradiksi-kontradiksi ini, yakni dalam katalog yang ditulisnya untuk pameran Picasso yang diselenggarakan oleh Museum Tamayo Mexico City.
Jika pada akhir tahun 1982 masih ada beberapa pemirsa yang belum punya tesis tentang Picasso, atau bahkan membaca artikel tentangnya, atau belum melihat reproduksi karya-karyanya, korporasi Televisa, yang mengakuisisi museum tersebut di masa itu, setiap hari menyiarkan lukisannya dari periode yang berbeda di saluran-saluran televisi mereka dan menceritakan tidak hanya tentang berapa biaya yang ditanggung seniman tersebut untuk membuat karyanya tetapi juga upaya yang ditempuh oleh mereka yang membawanya ke Museum Tamayo. Bagi setengah juta orang yang mengunjungi pameran itu menjadi terlihat bagaimana sulitnya menemukan satu peristiwa yang tidak diubah menjadi bahan berita, suatu kesenangan yang hadir tanpa ada publisitas sebelumnya. Seni abad terakhir mencoba menjadi penyelamat dari yang tak teramalkan, dari kesenangan yang efemeral dan masih janin, untuk selalu berada dalam tempat yang berbeda dari yang dicari orang. Namun demikian museum mengatur pencarian dan pelanggaran ini, media massa menyiapkan kita untuk tiba padanya tanpa kejutan, dan menempatkan mereka dalam sistem yang mengklasifikasi, yang juga merupakan interpretasi, sebuah pencernaan. Tepat karena partisipasinya dalam hampir semua penghinaan dan peresmian di abad ini, Picasso menjadi pengarang yang sulit dilihat dalam cara yang orisinil, sedikit sekali ia bisa menawarkan perjumpaan yang di luar perkiraan. Televisa mengorganisir kunjungan yang masif baginya, meskipun Museum Tamayo mencoba mempertahankan aturan kontemplatif untuk seni elit: museum ini hanya membolehkan dua puluh lima orang untuk masuk secara bergiliran. Akibatnya adalah antrian yang sangat panjang. Televisi merekamnya, menampilkannya sebagai semacam iklan, dan dengan demikian mendorong ribuan orang lainnya untuk turut antrian. Berkat skema datang dan pergi ini, kita di Meksiko dapat menikmati- selain karya Picasso- salah satu permainan menggoda tentang kontradiksi dan kerjasama antara seni untuk elit dan seni untuk massa, satu jenis permainan yang lumrah di lembaga-lembaga seperti di Pompidou Center atau Museum Metropolitan.
Setelah mendengar dari publisitas hampir semua yang perlu diketahui tentang pengorbanan yang harus dilakukan oleh si seniman dan oleh mereka yang berhasil menyelenggarakan pameran ini, maka menjadi tampak wajar bahwa orang harus ikut antrian yang melelahkan untuk bisa mencapai suaka di mana hasil akhirnya dipamerkan: antrian museum sebagai prosesi. Namun, seperti yang juga terjadi di banyak pesta religius pribumi, antrian di Museum Tamayo berubah menjadi satu karnaval. Gerobak hot dog dan minuman ringan, poster dan pakaian santai untuk cindramata, dan bendera yang ditandatangani si seniman menemani ritual tersebut.
Katalognya menjadi aksi tanding dari citra Picasso yang termasifkan ini dengan menampilkannya sebagai individu luar biasa. “Individualis liar dan seniman pemberontak” ujar Octavio Paz di dalam teksnya. Dan para pemirsa dapat menyerupainya jika mereka mengadopsi sikap yang cukup kontemplatif dan tahu bagaimana untuk meninggalkan diri mereka sendiri, dengan “padangan yang inosen” pada pesan yang membebaskan dari karya-karya tersebut dan turut serta dalam kekuatannya yang inovatif. Tapi para pengunjung mendapati bahwa inovasinya sendiri dilarang. Tidak dimungkinkan untuk kembali ke lukisan di ruangan sebelumnya atau menentukan alur perjalanannya sendiri. Para penjaga mencegah orang untuk keluar dari jalur dan tatanan yang diatur oleh para staf museum. Antrian memanjang sampai ke dalam gedung, lebih mirip penebusan dosa ketimbang prosesi.
Akhirnya, apa makna Picasso- seni untuk elit atau seni untuk massa? Picasso yang diperlihatkan oleh Televisa mengungkapkan betapa pasti “oposisi” dapat saling melengkapi, saling menembus, dan saling berbaur denga satu sama lain. Pembawa acara berita televisi paling terkenal mendedikasikan lebih dari sepuluh menit menyiarkan pembukaan pameran Picasso dan merekomendasikan terbitan Vuelta terakhir yang memuat artikel Octavio Paz tentang seniman tersebut. Lukisan yang hebat, sastra yang hebat, dan majalah yang mengomunikasikan semuanya pada segelintir orang juga bisa menjadi tontonan televisi. Dan kebalikannya juga mungkin terjadi: Televisa muncul di dalam museum- membiayainya, menaruh logonya di pintu masuk ruang pamer, menyarankan bagaimana pemirsa seharusnya melihatnya. Perbedaan antar budaya dan antar kelas “didamaikan” dalam perjumpaan antara pemirsa seni tinggi dan populer. Tapi simulakra demokratisasi perlu satu operasi yang menetralkan: prolog si Penulis, wacana yang mendepolitisir salah satu seniman paling kritis abad ini dan mengaburkan ikatan revolusionernya ke dalam sifat memberontak, politik ke dalam moralitas, moralitas ke dalam Seni.
Keagungan Picasso, tegas Paz, berada dalam fakta bahwa “di tengah kebisingan publisitas yang anonim, ia tetap terjaga.” “Terutama kini ketika kita menyaksikan begitu banyak seniman dan penulis yang bersilat lidah demi ketenaran, sukses, dan uang,” tepat ketika industri budaya membawanya ke Meksiko dan menjelaskannya, perlu ditegaskan bahwa Picasso tidak punya hubungan apa-apa dengan kebisingan tersebut. Teksnya Paz sejak awal mengakui upaya pihak museum, yang dipersonalisasikan pada pendirinya, Rufino and Olga Tamayo: sebuah lembaga yang diabdikan pada Budaya tidaklah anonim seperti publisitas; ia memiliki orang dan seniman dalam kondisi asalnya. Ia tidak mengatakan apapun tentang peran serta Televisa, dan ketika ia menganalisis sisi pemberontak Picasso terhadap keanoniman sosial, ia merujuk pada partai, best-seller-isme, dan galeri. Ia mengenang Picasso yang “memilih untuk masuk ke Partai Komunis tepat pada titik balik Stalin,” namun ia membiarkan pertanyaan ini berakhir dengan sebuah elipsis. Tidak ada penjelasan yang diberikan mengenai fakta ini atau kaitan karyanya dengan resistensi anti-Nazi dan pada perjuangan politik lainnya yang dapat mencegah terjadinya reduksi atas karyanya menjadi sekedar “estetika pemutus” (aesthetic of rupture) dengan masyarakat.
Teks ini menyiratkan bahwa gabungan otoritarianisme politik dan pasar adalah musuhnya, bahwa mereka adalah musuh yang sebanding, setidaknya bagi si seniman. Tak satu pun kata disampaikan mengenai mereka yang sebenarnya membawa Picasso, yang memaparkan bagaimana cara melihatnya melalui publisitas. Apakah dengan membahas relasi Picasso yang kompleks dan kontradiktif dengan pasar seni dan partai secara abstrak membantu terciptanya pemahaman?
Tapi ketimbang berlama-lama dengan sejarah tentang konflik yang telah lewat, kini kami lebih tertarik menanyakan tentang apa yang terjadi dengan sastra dan seni modern, yang hampir selalu dibuat demi relasi yang intim dengan pemirsanya, ketika distribusinya secara massal disampaikan kepada kita melalui pesan televisi, hot dog, minuman ringan, dan bagi mereka yang paling banyak mau, “Tamayo sandwiches” (sic) di lantai dasar museum. Pertanyaan dasar, yang melampaui pameran ini, adalah bagaimana agregat tradisi simbolik, prosedur formal, dan mekanisme distingsi yang disebut seni tinggi direkonversikan ketika ia berinteraksi dengan mayoritas penduduk di bawa aturan mereka yang cenderung menjadi komunikatornya yang paling efektif: industri budaya.
Di sinilah konfrontasi Borges mungkin menjadi berguna. Seperti Paz, ia juga memperlawankan penulis dengan politikus, penulis sebagai ekspresi tertinggi individu dan politisi sebagai manifestasi dari ancaman kolektivis. Pernyataan anarkisnya dikenal baik, demikian juga cita-citanya tentang berjalannya “suatu pemerintahan minimum” dan negara yang tidak perlu dihiraukan, seperti di Swiss, “di mana mereka tidak tahu nama presiden mereka” (satu posisi yang kemudian digoyahkan ketika kekagumannya pada kaum konservatif menggiringnya untuk memuji pemerintahan yang otoritarian).
Ia juga tahu ketidaknyamanan menjadi Borges, syok yang harus diderita seseorang demi mempertahankan proyek kutural yang berbudaya di tengah masifikasi kultural. Menjelang akhir hayatnya, Borges adalah sebuah biografi yang harus disingkap rahasianya ketimbang sebuah karya yang harus dibaca. Pernyataan-pernyayaan politisnya yang paradoksal, hubungannya dengan ibunya, pernikahannya dengan Maria Kodama, dan laporan berita tentang kematiannya menunjukkan titik jenuh bagi kecenderungan cara budaya massa memperlakukan seni tinggi: dengan menggantikan karya dengan anekdot, dengan merangsang kesenangan lebih pada konsumsi citra publik alih-alih kenikmatan dari teksnya.
Hikmah dalam kasus Borges adalah dalam dekade-dekade akhirnya ia mengubah interaksi wajib dengan komunikasi massa tersebut ke dalam sumber elaborasi kritis, tempat di mana perwakilan sastra elit mencoba melakukan sesuatu untuk menantang media.
Reaksi pertamanya adalah bahwa seniman yang berbudaya tidak dapat menghindari intervensinya pada pasar massa simbolik dan pada saat yang bersamaan menganggapnya tidak dapat ditoleransi lagi. Mari kita dengarkan ceritanya tentang keanggotaannya dalam kelompok di sekitar jurnal Martin Fierro, lama setelah itu: ia berkata, ia jijik dengan fakta bahwa ia pernah masuk ke dalam kelompok tersebut karena kelompok ini mewakili gagasan Prancis bahwa sastra tengah diperbaharui secara konstan. “Karena Paris punya kelompok-kelompok sastra yang berkubang dengan publisitas dan diskusi tanpa arah, kita harus mengikuti zaman dan melakukan hal yang sama.”
Salah satu diskusi paling tanpa tujuan yang dilakukan di hadapan distribusi massa adalah diskusi yang dikembangkan mengenai gagasan inti tentang modernitas yang berbudaya- orisinalitas. Menjadi penulis terkenal berarti harus menjadi korban dari para peniru. Dan para peniru, kata Borges,
selalu lebih baik daripada para masternya. Mereka melakukannya dengan lebih baik, dengan cara yang lebih cerdas, dengan lebih tenang. Sedemikian rupa hingga, ketika saya menulis sekarang, saya berusaha untuk tidak menyamai Borges karena sudah begitu banyak orang yang bisa melakukannya lebih baik dari saya.
Imitasi hanya salah satu taktik untuk bersaing dalam pasar sastra. Apa yang bisa dilakukan oleh penulis dengan karir prestisius yang dicanangkan oleh para editornya?
Mereka mengatakan pada saya bahwa di Itali buku-buku Sabato dijual dengan label yang menyatakan “Sabato, rival Borges.” Ini aneh karena buku saya tidak disertakan dengan label yang menyatakan, “Borges, rival Sabato.”
Dihadapkan dengan imitasi dan kompetisi, pembaca disisakan dengan ritual dedikasi dan tanda tangan yang memberikan “keotentikan” pada buku tersebut. Di tengah penjualan yang melonjak dan membuat pembaca manapun menjadi anonim, relasi “personal” dengan penulis tersebut mencoba memulihkan orisinalitas dan ketunggalan karya dan si pembaca berbudaya. Borges menemukan bahwa: “Saya sudah menandatangani begitu banyak kopi buku saya sehingga buku yang tanpa tanda tangan pada hari ketika saya akan mati nanti, harganya akan menjadi tinggi. Saya yakin bahwa beberapa orang akan menghapus tanda tangan saya agar harganya tidak terjual dengan begitu murah.” Di sebuah toko buku di Buenos Aires di mana dilakukan acara penandatanganan buku barunya, seorang pembaca mengatakan padanya, tahu bahwa dia buta, bahwa buku yang ada dihadapannya adalah karyanya dalam terjemahan bahasa Jerman. Si penulis lantas bertanya padanya: “Apakah saya harus memberi tanda tangan dalam huruf Gothik?”
Kami harus menganggap serius wawancara dan pertanyaan Borges[ii] yang sesekali ini, yang dalam cara yang miring adalah bagian dari karyanya. Sebagaimana ia peka sejak masih muda – yang juga bersamaan dengan masa awal bagi budaya industri- pada matriks-matriks pada narasi dan taktik elaborasi ulang semantik atas film (ingat artikel-artikelnya tentang film barat dan detektif, keterpukauannya pada Hollywood), ia memahami keberuntungan kritisnya, jejaring bacaan yang tersusun dari seorang penulis, dibangun baik dalam relasinya dengan karya maupun relasi masyarakat lainnya demi memuaskan kehendak media massa. Maka ia mencoba memasukkan ke dalam aktivitasnya sebagai penulis dari langgam yang spesifik dari ruang ekstra-sastrawi tersebut: pernyataan pada wartawan.
Demi membela dirinya dari penindasan publisitas dan relasi sesat yang mengebawahkan otonomi yang dikerjakan oleh si penulis ke tekstualitas masif, maka perlu untuk menggiring “produksi wacana sebagai tontonan ke batas kemungkinannya,” catat Jose Sazbon (24). Borges memarodikan prosedur komunikasi massa, namun juga kebiasaan konsumsi yang menggejala di universitas-universitas, termasuk para spesialis sastra:
Di universitas-universitas Amerika Serikat, mahasiswa diwajibkan menghafal hal-hal sepele dan tidak membaca di rumah. Membaca dilakukan di perpustakaan, dan hanya buku yang ditugaskan oleh profesor yang boleh dibacanya. Saya bicara dengan seorang mahasiswa tentang The Arabian Nights (Kisah Seribu Satu Malam, penerj.) dan ia mengatakan pada saya bahwa ia tidak tahu buku itu karena ia tidak melanjutkan kuliah bahasa Arabnya. “Saya juga tidak,” ucap saya padanya, “Saya membacanya di sekolah malam.”
Ia senang menunjukkan operasi dasar dalam konstruksi wacana massa: pengubahan dari sejarah yang barusan terjadi menjadi tontonan, tekstualisasi kehidupan sosial, titik nol di mana media mengubah setiap afirmasi menjadi “pertunjukan pernyataan”, ungkap Sazbon. Tapi ia juga melanggar dan mengikis proses-proses tersebut dengan terus menerus mengubah pernyataannya dan posisinya: “Mengulang apa yang saya katakan membuat saya bosan, oleh sebab itu saya mengatakan sesuatu yang lain setiap saat.”
Pernyataan-pernyataan ini melanjutkan karyanya karena ia membuatnya menjadi langgam baru, dan juga karena estetikanya koheren dengan estetika naratif dan puisinya. Karya-karya Borges yang otonom dan inovatif dan pada saat bersamaan mampu mengakui ketergantungannya ini menyertakan ke dalam teksnya kutipan-kutipan dan terjemahan sebagai bukti bahwa menulis, terutama di negara-negara pinggiran, adalah mengisi ruang yang sudah terisi. Dari pengetahuan kosmopolitan ini banyak kritikus mendapatkan bukti tentang apa artinya menjadi berbudaya di masyarakat yang dependen, maka menjadi hal yang lumrah untuk menyerang Borges sebagai penulis Eropa yang tidak mewakili realitas kita. Tuduhan ini buyar begitu kita mengamati bahwa tidak ada penulis Eropa seperti Borges. Ada banyak penulis Prancis, Inggris, Irlandia, dan Jerman yang sudah dibaca, dikutip, dan dipelajari, dan diterjemahkan oleh Borges, namun tak satupun dari mereka mengenal satu sama lain karena mereka berasal dari tradisi kedaerahan yang tidak menyadari keberadaannya satu sama lain.
Ini adalah ciri dari penulis pinggiran, yang terlatih dalam kepercayaan bahwa sastra besar ada di negara lain, yang penasaran dengan – selain pada karya sastra di negara nya sendiri- juga ke karya-karya dari negara lain; hanya seorang penulis yang percaya bahwa semua hal sudah dituliskan lah yang mengabdikan karyanya untuk merefleksikan kutipan karya orang lain, atas pembacaan, penerjemahan, dan plagiarisme, dan menciptakan karakter-karakter yang hidupnya diserap oleh upaya mengartikan teks-teks yang jauh yang mengungkapkan makna padanya.
Benar adanya, bahwa ia mencari justifikasi dari kisah-kisahnya dengan merujuk pada sejarah universal, namun seperti yang dijelaskan Ricardo Piglia, sebagian besar dari permainan sastranya terdiri dari data yang terfalsifikasi, mencampur antara yang nyata dan yang diragukan kebenarannya, memarodikan karya orang lain dan juga karya sendiri. Borges menertawakan mereka yang percaya bahwa budaya tangan kedua adalah budaya, tapi bukan karena ia meratapi fakta bahwa ia bukan warga asli dari salah satu budaya-budaya “sejati” yang besar atau keyakinan bahwa kita harus menemukan budaya sejati kita sendiri – sebagaimana ia mengolok-olok pretensi universalis sastra pusat dalam teks-teks ensiklopedis yang ia palsukan, di mana ia menyebut juga para gaucho dan tema-tema urban populer Argentina dan mengejek ilusi tentang pencarian inti sari “warna lokal”.[iii]
Semua penyokong seni modern – kebaruan, perayaan individual, ciri khas yang tampak menyatakan keotentikan, kosmopolitanisme, dan nasionalisme – adalah fiksi yang rapuh. Menurut Borges, ketimbang marah dengan penghancuran tanpa rasa hormat yang dilakukan oleh “masyarakat massa” atas nilai-nila tersebut, lebih baik mengasumsikan, melalui karya yang skeptis ini, ketidakmungkinan otonomi dan orisinalitas sastra. Mungkin tugas penulis di masa ketika sastra dibentuk dalam interaksi antara masyarakat yang beragam dan kelas serta tradisi yang berbeda adalah merefleksikan situasi modernitas yang anumerta ini. Narasi dan pernyataan Borges yang paradoksal menempatkannya di pusat dunia pascamodern, dalam vertigo yang disebabkan oleh ritual-ritual budaya yang kehilangan perbatasannya, dalam simulakra abadi yang dinamakan dunia ini.
Laboratorium Ironis
Perilaku Borges terhadap industri budaya merupakan sebuah proposal tentang fungsi seni tinggi, atau apa yang tersisa darinya, ajakan untuk meninggalkannya dan tentang langkah-langkah apa yang bisa diambil. Ini bukan tentang persaingan dengan media, seolah dimungkinkan untuk melawan media dengan dasar setara; juga bukan tentang voluntarisme penyelamatan dari mereka yang bercita-cita menjauhkan orang dari manipulasi massa. Ini juga bukan tentang keluhan melankolik, apokaliptik karena proyek-proyek otonom dan inovatif menjadi misi yang tak punya harapan.
Jika kita menerima masifikasi masyarakat, ekspansi urban dan ekspansi industri budaya sebagai sebuah tren yang tidak dapat diputar balik, jika kita melihat mereka- bahkan dalam kontradiksinya- dengan humor, maka menjadi mungkin membayangkan fungsi seniman dengan cara lain. Paz memeriksa ironi, bersama dengan analogi, sebagai dua bahan utama dalam sastra modern. Dalam halaman-halaman indah yang ia dedikasikan pada sastra modern dalam Los hijos del limo, ia memahami analogi sebagai visi Neoplatonis, yang diambil oleh kaum Romantis, yang membayangkan semesta sebagai sistem korespondensi dan menganggap bahasa sebagai semesta kedua. Namun dalam dunia modern, yang kehilangan kepercayaan pada waktu linear dan semua mitos yang merespon kontradiksinya, dan yang hidup dalam sejarah sebagai perubahan dan gabungan dari pengecualian, ironi bergandengan dengan analogi. Setiap upaya untuk mencari sumber asal, sumber dari korespondensi, dikikis oleh perubahan modernitas tanpa aturan baku. Sekularisasi mengarah pada kemiskinan kesadaran, kata Paz, atas yang grotesk, yang aneh, penghancuran tatanan. Pemikiran ironis yang merelatifkan analogi hanya menyerahkannya pada tragedi; di stasiun akhir hanya ada kematian yang menanti (Paz 1987, bab 6).
Sebaliknya Borges melakukan ironi dengan humor, pengambilan jarak yang bijak yang membuatnya mampu bertolak dari jalur kebiasaan, mampu berpikir dan mengatakan “sesuatu yang lain setiap saat.” Pengalihan secara konstan, semangat berkelanjutan untuk bereksperimen: di luar krisis teoritis dan praktis tentang orisinalitas, inovasi tidak berhenti. Meskipun beberapa orang sering merespon tuntutan pasar, atau mungkin diambil alih oleh pasar, yakni mereka yang dibuat tidak nyaman dengan pengetahuan dan keberadaan yang dibawa oleh ketajaman olok-olok ini.
Medan budaya mungkin masih saja masih berupa laboratorium, sebuah tempat bermain dan mencoba-coba. Berhadapan dengan “efesiensi” produktivis, ia mengklaim kembali yang bermain-main; di hadapan obsesi kepada uang, ia menyatakan kebebasan untuk menggarap ulang, tanpa kepentingan, warisan yang tersimpan dalam ingatan, pengalaman yang tak terkapitalisasikan yang dapat membebaskan kita dari kemonotonan dan inersia. Kadang pemahaman tentang seni sebagai laboratorium ini cocok dengan nilai kegunaan yang diakui secara sosial. Sebagaimana sejarah membuktikan, ada penemuan ilmiah yang dikonversikan menjadi solusi teknologi, ada eksperimentasi artistik yang mengarah pada renovasi dalam desain industri dan media massa (kami mengutip Bauhaus dan konstruktivisme; kami harus menyertakan op dan pop, Ekspresionisme dan hiperealisme, dan satu daftar panjang dari aplikasi tak terduga dalam permulaan pencarian tersebut).
Tapi ada satu daftar lain yang terdiri dari pengalaman artistik yang tidak disertai dengan kegunaan material, dan permainan yang tidak menawarkan apapun selain kesenangan, kadang hanya bagi sedikit orang. Tren ini hampir tidak perlu lagi berjuang melawan kutub satunya: puritanisme modern yang ingin mengevaluasi semua inovasi berdasarkan daya terapnya secara massal. Estetika kontemporer yang dipelajari dari antropologi dan sejarah bahwa di semua masyarakat ada praktik-praktik “hutang budi” dan “tidak efektif”, seperti melukis tubuh atau menyelenggarakan pesta di mana satu komunitas menghabiskan simpanannya sepanjang tahun dan begitu banyak waktu dibutuhkan untuk membuat satu ornamen yang akan dihancurkan dalam sehari. Sudah sejak dulu manusia selalu membuat seni tanpa memikirkan apapun kecuali nilai pragmatisnya –misalnya, demi kesenangan yang dimunculkannya atau karena ia menggoda atau mengomunikasikan sesuatu tentang diri kita. Jika banyak praktik populer kurang “bermanfaat”, jika mereka hanya mencari ekspresi afektif dan ritual pemulihan identitas, lantas mengapa menuduh seni tinggi sebagai seuatu yang murni sensitif dan ekperimentasi formal ?
Jika kita mengesampingkan aturan puritan atau produktif, pertanyaan mengenai kegunaan simbolik muncul: Di hadapan modalitas yang menang dalam pengorganisasian budaya- pasar, media- ejekan Borges menjadi tampak membuahkan hasil. Ini bukan satu-satunya respon yang dimungkinkan; namun dalam setiap laboratorium, untuk membiarkan pertanyaan tertentu tetap hidup, atau bereksperimentasi dengan beragam cara dalam mengajukan pertanyaan tersebut, setidaknya bernilai untuk menjaganya. Karena tindakan ini tidak mencapai dampak yang spektakuler dan segera, karena kadang mereka tidak punya dampak, ironi dan ironi diri merupakan pusat dari pengalaman tersebut.
Ironi, jarak kritis, dan elaborasi ulang yang bermain-main adalah tiga ciri khas yang bermanfaat dalam praktik budaya modern dalam kaitannya dengan tantangan pramodern dan industrialisasi medan budaya.(…)
(Petikan artikel ini diterjemahkan oleh Ferdiansyah Thajib dari naskah Néstor Garcia Canclini, 1995, “Artist, Middlemen, and the Public: To Innovate or To Democratize?” dalam Hybrid Cultures: Strategies for Entering and Leaving Modernity, Pengantar oleh Renata Rosaldo, Penerjemahan Inggris oleh Christopher L. Chiappari dan Silvia L . Lopez, University of Minnesota Press. ©1995. Hal. 67-78. Gambar diambil dari sumber yang sama)
Catatan:
[i] Posisi Paz ini hadir di beberapa bukunya, yang kamu uraikan di sini, terutama yang tercantum dalam El ogro filantrdpico and Los hijos del limo, bab 3-6
[ii] Sejauh pengetahuan kami, yang pertama kali melakukannya adalah Bias Matamoro, yang mengumpulkannya dalam Diccionario de Jorge Luis Borges, di mana ia menyusun aforisma dan teks-teks singkat yang diambil dari esai, prolog, ulasan film, dan wawancara jurnalistik dengan si penulis. Dari buku inlah kutipan-kutipan ini kami ambil.
[iii] Piglia mengumpulkan tesisnya atas Borges, mempresentasikannya dalam kuliah-kuliah, melalui de Renzi,satu tokoh dalam novelnya Respiration artificial (162-75), dan wawancara yang dipublikasikan dalam buku Critica y fiction. Dalam buku ini ia mengatakan bahwa di dalam novel tafsirnya atas Borges dibuat “putus asa” demi mendapatkan efek “fiktif”, namun dia tidak mengkontradiksikannya. Mungkin setelah Borges, Piglia adalah orang kedua terbaik dalam memfiksionalkan penyataan pribadi dalam wawancara dan mencampur baur beda antara wacana kritis dan fiksi.