Artikel Terbaru

Proyek KW 2 oleh Prihatmoko Moki

Gerobak kaki lima Proyek KW 2 (foto oleh Dwe Rahmanto)

Proyek KW 2 berawal dari pertanyaan Moki mengenai nilai karya dalam seni lukis dan seni grafis di Indonesia. Mengapa karya-karya seni lukis selalu memiliki nilai lebih dibandingkan seni grafis, baik dalam konteks pasar maupun objek koleksi? Apakah karena karya grafis lebih mudah digandakan sehingga tidak memiliki eksklusivitas yang sama dengan karya lukis?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, Moki menggagas proyek KW 2. Dalam proyek ini, Moki mengumpulkan data gambar dari lukisan karya seniman-seniman termahal di Indonesia menurut daftar sebuah balai lelang di Paris, Perancis. Tidak ada kategori tertentu dalam pemilihan gambar. Moki hanya memilih lukisan dengan ukuran data paling besar yang bisa didapatkan melalui Google. Data-data ini digunakan untuk membuat poster bergambar lukisan karya beberapa seniman kontemporer tersebut. Poster-poster ini diproduksi dengan teknik silk screen CMYK di atas kain keras (sebutan untuk kain yang digunakan sebagai dalaman kerah).

Lanjutkan →

dari “Seniman, Makelar, dan Publik: Inovasi atau Demokratisasi?” oleh Néstor Garcia Canclini

(…)Dari Paz ke Borges: Perilaku di hadapan Televisi

Para seniman dan penulis yang paling berkontribusi bagi independensi dan profesionalisasi  ranah kebudayaan menjadikan kritik terhadap negara dan pasar sebagai poros argumentasi mereka. Tapi untuk alasan yang berbeda, penolakan atas kekuasaan negara cenderung lebih keras dan konsisten ketimbang penolakan terhadap pasar.Teksnya Cabrujas, yang kami kutip di bab “Pembuka” dalam buku ini, memperparah salah satu tesis yang paling sering  kita dengar: Anda tidak dapat menganalisis negara-negara Amerika Latin karena mereka tidak bisa disikapi terlalu serius; tapi para penulis naskah panggung ini, yang menghasilkan karya-karya untuk teater berbudaya dan pada saat bersamaan adalah  penulis naskah opera sabun Venezuela paling sukses, tidak merumuskan suatu refleksi kritis serupa  terhadap industri budaya. Penjelasan mengapa ia membuat sinetron sepanjang  dua ratus jam, mengadaptasi karya dramatisnya untuk memenuhi standar produksi televisi, adalah alasan yang pramodern: ia ingin agar orang Amerika Latin “mengenal mitos besar tentang dirinya sendiri” dan  “mengakuinya sebagai mitos yang indah dan luhur “(Gabaldon dan Fuentes, 8).

Kami akan berlama-lama dengan posisi Octavio Paz, yang lebih berhasil dan berpengaruh. Dimulai dengan teks-teks awalnya, di mana  ia menyatakan bahwa kebebasan yang dibutuhkan seniman diperoleh dengan menjauhkan diri dari “sang pangeran” dan pasar. Namun faktanya,  ia menyatakan kemarahan yang semakin besar terhadap kuasa negara dalam karyanya, sementara ia mencari kemungkinan hubungan yang produktif dengan pasar, dan dukungan dari media demi meluaskan wacananya. Penekanan Paz yang anti-negara  bercampur dengan dipertahankannya suatu konsepsi yang sekaligus tradisional dan modern, ambivalen, atas otonomi ranah kesenian.

Paz adalah purwarupa penulis berbudaya; bukan hanya karena tuntutan beban eksperimentasi formalnya pada pembaca, pengetahuan implisit yang menunjukkan kepadatan puisi dan esai-esainya, dan keterlibatan orang-orang yang punya satu rujukan dengannya dalam soal karya sastra dan estetika, tetapi juga karena dalam interpretasinya atas budaya, sejarah, dan politik; ia terutama tertarik pada kaum elit dan gagasan. Sesekali dia menyebutkan gerakan sosial, perubahan teknologi, dan perubahan-perubahan material dalam kapitalisme dan sosialisme, tapi ia tidak pernah memeriksa proses-proses ini secara sistematis;  referensinya ke struktur sosial ekonomi adalah gejala-gejala skenografis yang dengan cepat ia kesampingkan demi melanjutkan ke hal sebenarnya yang menjadi perhatian utamanya:  gerakan kesenian dan sastra, dan khususnya pencipta individu dan reaksi mereka terhadap “ancaman”  teknis dan birokrasi negara.

Lanjutkan →

Geldof & Piracy

Source: Kompas, 28 Dec 1985



Situs ini menggunakan lisensi Creative Commons Lisence BY-SA-NC.
RSS // Ruang Laba